‘Tanah Tujuan’ bukanlah metafor yang mengarah hanya pada soal ambisi kenyamanan hidup, tetapi beririsan pula dengan intensi spiritual meskipun tidak sepenuhnya berakar pada perkara dogmatis terkait ‘surga yang hilang’ atau ‘dosa awal’.
Karya berjudul ‘Isyarat’ pada awalnya berpijak pada persoalan komunikasi bahasa nonverbal, namun dalam prosesnya secara imajinatif beririsan pula konteks spesifik selaku tanda yang mengarah pada pemaknaan ungkapan di atas.
Intensi lukisan ini tidak berpijak sepenuhnya pada interpretasi khusus terkait lirik, sikap atau konsistensi perlawanan, melainkan merupakan respon imajinatif terkait keterpurukan nilai- nilai kemanusiaan.
Ketika manusia sudah menjalankan apa itu kehidupan yang sebenarnya tidak lepas dari apa yang telah kita lakukan terjadilah interaksi antara makhluknya dgn sang penciptanya.
Karya ini tidak bertendensi untuk melakukan kritik langsung atas fenomena tersebut, melainkan lebih sebagai ungkapan lapisan bawah sadar yang sulit menyembunyikan diri dari gangguan penglihatan atas realitas ambigu.
Mencintai kehidupan, sekaligus kematian sebagai keniscayaan, sebagaimana seruan Nietzsche tentang ‘amorfati’, merupakan bingkai pemikiran yang mendasari karya bersifat serial ini.
Sebuah kehidupan di mana manusia mendapatkan sesuatu yang lebih jauh dan tinggi apa yang di kerjakannya sesuatu yang di impikannya tercapai dan berhasil